Kamis, 24 Mei 2012

SUFI DAN AIR MATA



Saat bertafakur pada suatu malam tiba-tiba sang sufi melelehkan air matanya, kemudian berlanjut dengan dialog menarik.
Sang sufi bertanya, “Wahai air mata, mengapa engkau mengucur dari mataku?”.
Air mata menjawab, “Saya keluar dari tubuhmu lewat matamu karena saya tidak tahan atas panas yang ditorehkan oleh hatimu.”
Sang sufi bertanya lagi. “Mengapa hatiku dapat mengeluarkan panas sehingga engkau merasa tidak betah berada dalam tubuhku?” Apa yang menyebabkan hatiku menjadi terasa panas?

Maka air mata menjawab, “Ketahuilah wahai saudaraku, hatimu menjadi panas karena engkau melakukan banyak dosa dan berbuat maksiat. Setiap kali seorang hamba Allah melakukan dosa atau kemaksiatan, sesungguhnya hatinya menjadi panas. Semakin sering melakukan dosa dan kemungkaran, semakin panas pula hati atau kalbumu. Itulah sebabnya saya keluar dari ragamu karena kau telah melakukan dosa dan maksiat.”
Sang sufi semakin tertunduk dan tenggelam dalam tafakurnya seraya bertanya, bagaimana caranya supaya tidak terjebak lagi dalam dosa dan kemaksiatan?
Berkatalah air mata, “Sesungguhnya dunia yang fana ini selalu menjebak anak cucu Adam yang tidak sanggup memahami hakikat keduniaan yang seringkali mengandung racun yang sangat berbahaya.” Sang air mata lalu menceriterakan kehidupan dunia tak ubahnya seekor ular yang kelihatan lembut dan mungkin warnanya indah. Tetapi dalam dirinya bersemayam racun yang dapat mematikan siapapun yang tidak berhati-hati dalam menghadapinya.
Demikian pula dunia, yang sesungguhnya juga kelihatan indah dan selalu memukau mereka yang tidak memiliki visi yang jauh dari wawasan keduniaan sehingga banyak hamba Allah yang terkena racun dunia kemudian tergelincir dalam berbagai tindak kemaksiatan.
Teman, kisah di atas hanyalah imajinasi dari kaum sufi sendiri yang ingin mengingatkan kita semua agar selalu berhati-hati menghadapi godaan dan jebakan dunia.  Bila tidak hati-hati dia dapat menjerumuskan dalam musibah berkepanjangan. Nabi pernah mengatakan bahwa neraka itu selalu diselimuti dengan hal-hal yang selalu menimbulkan syahwat dan hawa nafsu. Sementara surga diliputi hal-hal yang sering tidak disukai oleh manusia. Ceritera itu memang sekedar mengambarkan kaitan antara manusia dengan kebendaan yang selalu sangat dekat, bahkan sangat erat. Al-Quran pun menyatakan bahwa sesungguhnya manusia amat sangat menyukai harta benda. (Baca QS. Ali Imran: 14).
Pada konteks inilah seyogyanya kita tetap istiqomah untuk tidak mudah terjebak pada rongrongan hawa nafsu yang selalu ingin memenuhi keinginan akan harta benda dengan segala cara. Sikap inilah yang akan menyerat kita kepada sikap hedonisme (memenuhi nikmat sesaat) yang pada akhirnya mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang menguntungkan sekalipun terlarang, termasuk korupsi.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kita untuk memakan barang yang halal dan thayyibah.. (QS Al-Baqarah 2:168)
Buah yang akan kita dapat dari kepatuhan akan perintah itu antara lain adalah akan memudahkan seseorang dikabulkan doanya. Suatu ketika Sa’ad bin Abi Waqash memohon kepada Nabi untuk didoakan agar ia termasuk orang yang doanya dikabulkan. Maka Nabipun bersabda: “Wahai Sa’ad, baikkanlah makananmu (halalanthayyiba), maka engkau akan menjadi orang yang doanya mudah dikabulkan.” (HR Thabrani).
Jangan biarkan hati kita selalu panas karena gemar akan perberbuatan dosa dan kemunkaran.
Wa  Allahu a’lam bish-showab.

[Yunan Hilmy al-Anshary]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar