Saham Pertamina Dikhawatirkan Jatuh ke Asing
Rencana Pertamina menawarkan saham perdana ke publik alias initial public offering (IPO) ternyata bakal menempuh jalan bergelombang. Belum apa-apa, rencana itu sudah mendapat perlawanan dari sejumlah pihak.
Sekadar Anda tahu, Pertamina sudah mengajukan IPO anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energy (PHE) pada awal Juni lalu ke DPR. Rencananya, PHE akan menjual 20 persen saham. Perusahaan ini berharap bisa mendapatkan dana Rp 10 triliun untuk ekspansi bisnis di dalam dan luar negeri.
Pihak yang menolak rencana itu khawatir IPO anak usaha Pertamina ini akan mengulang kasus go public PT Indosat Tbk tahun 1994 yang mengakibatkan saham perusahaan telekomunikasi tersebut kini dikuasai asing.
Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara, mengingatkan saat pemerintah menjual saham Indosat awalnya hanya 35 persen. Namun, lama-kelamaan dia menilai penjualan saham terus berlanjut hingga tahun 2002.
“Kini saham pemerintah tinggal 14 persen. Akibatnya, penerimaan negara bisa terus berkurang,” kata Marwan dalam seminar IPO Pertamina di Ruang Samitri III Nusantara V MPR, Kamis (15/7/2010).
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono juga gusar dengan rencana itu. “Sekali jatuh ke asing, ke depannya pasti asing bakal mendominasi,” kata Sri.
Dengan dikuasai asing, dia mengatakan kontrol pemerintah terhadap Pertamina akan melemah. Nah, bila ini terjadi, dia mengatakan pemerintah akan sulit mengatur harga minyak dan gas hasil produksi PHE. “Padahal minyak dan gas mestinya dikelola seutuhnya oleh negara dan dipergunakan untuk rakyat,” kata Sri.
Anggota Komisi VII DPR Chandra Tirta Wijaya mengatakan DPR akan menolak rencana IPO anak usaha Pertamina itu bila mengabaikan kepentingan negara. Sebab, dia beralasan kekayaan negara harus diolah pemerintah sesuai dengan UUD 1945.
Anggota DPR : Saham Pertamina Seharusnya 100 Persen
Anggota Komisi VI DPR RI Chandra Tirtawijaya mempertanyakan keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang hanya memberikan 80 persen hak pengelolaan blok West Madura Offshore (WMO) kepada Pertamina.
Kepada pers di Jakarta, Jumat, Chandra Tirtawijaya mengatakan bahwa seharusnya Pertamina mendapatkan 100 persen hak pengelolaan WMO.
Adapun Kodeco Energy tak perlu lagi mendapatkan kesempatan. “Seharusnya Pertamina dapat 100 persen, keputusan kementerian ESDM ini tanggung kenapa tetap kasih kesempatan kepada Kodeco,” ujar Chandra.
Menurut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, dengan menguasai 100 persen blok West Madura Offshore, Pertamina bisa menggandeng perusahaan daerah milik Pemda sebagai mitra kerja.
“Selain itu Pertamina juga boleh share dengan operator asing tapi tentu hitung-hitungannya berbeda. Yang penting Pertamina harus dapat 100 persen dulu,” tegasnya.
Seperti diberitakan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memutuskan Pertamina dan Kodeco Energy sebagai operator atau pengelola operasional lapangan minyak dan gas bumi West Madura Offshore.
Menurut Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Investasi dan Produksi, Kardaya Warnika, Pertamina menguasai 80 persen dan Kodeco 20 persen. Pertimbangan pemerintah menempatkan Pertamina sebagai operator adalah memberi kesempatan perusahaan migas nasional untuk berpartisipasi dalam pengelolaan minyak dan gas bumi nasional.
“Pemerintah menilai kinerja Pertamina cukup baik, termasuk dalam mengelola blok migas lepas pantai. Terbukti, Pertamina dapat meningkatkan produksi lapangan migas lepas pantai Jawa yang semula dikelola BP,” kata Kardaya.(*)
Pertamina Lepas 66,7% Saham Patrajasa
PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) akan melakukan pelelangan aset PT Pertamina pada PT Patrajasa senilai Rp2 triliun-Rp3 triliun, berupa gedung, perumahan, dan hotel, pada Oktober 2010.
“Pelepasan saham Pertamina di Patrajasa sebesar 66,7 persen akan kami umumkan bulan depan,” kata Direktur Pengelolaan Aset PPA, Andi Saddawero, di Jakarta, Minggu.
Andi Saddawero menjelaskan aset berupa hotel yang akan dilego yaitu Hotel Patra Bali, Cirebon, Semarang, serta Parapat.
Hotel Patra yang selama ini dikelola Pertamina di bawah kendali Patrajasa ini merupakan hotel berkelas bintang dua hingga bintang lima .
Pertamina menyerahkan penjualan aset yang tidak sejalan dengan bisnis inti perseroan di bidang migas , sejak tahun 2009.
Aset lainnya yang akan dilepas yaitu, Gedung Patra yang berlokasi di Jalan Gatot Soebroto, Jakarta. Aset sebanyak 132 kavling rumah, di Perumahan Patra Kuningan, Jakarta.
“Dengan pelepasan sebagian saham tersebut, maka Pertamina tidak lagi mayoritas di sana,” ujarnya.
Selain pada Patrajasa,maka PPA juga sedang mencari pihak yang bersedia menyewa dua aset di Pondo Cabe, Jakarta Selatan, yaitu Lapangan Terbang Pondok Cabe dan Padang Golf, Pondok Cabe.
“Awalnya kita mau mencari investor, namun pemerintah melalui keputusan rapat di Kantor Menkopolhukham, aset ini tidak dijual karena untuk menunjang pertahanan dan keamanan,” ujar Andi.
Lahan di Pondok Cabe tersebut, merupakan bagian dari tujuh aset properti Pertamina, yang dikelola PPA.
Aset lainnya berlokasi di Kemanggisan, Tangerang, Jatibarang, Kramat Raya Jakarta, dan di Jalan Halimun Jakarta.
(T.R017/A011/P003)
Sumber:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/07/15/14245050/Saham.Pertamina.Dikhawatirkan.Jatuh.ke.Asing
Kamis, 14 Juni 2012
Minggu, 03 Juni 2012
DASAR HUKUM EKONOMI NASIONAL INDONESIA
Pancasila adalah suatu dasar Negara yang merupakan sebagai suatu visi bangsa. Sekarang , relevansi Pancasila debagai visi bangsa mulai terlihat. Perjalanan bangsa selama masa reformasi memberi pelajaran berharga bahwa segala jerih payah dalam menata kehidupan politik dan ekonomi teryata tetap membutuhkan visi masa depan. Apabila kita mengabaikan Pancasila sebagai satu – satunya commun platform kita justru tidak akan dapat merumuskan visi itu ( As’ad said ali. 2010: 78-79). Sudah jelas di katakana bahwa Pancasila adalah suatu cita –cita suatu bangsa yang ingin di wujudkan bagsa Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Kata kunci yang di ambil dalam pergerakan Ekonomi Indonesia adalah pada sila ke tiga yaitu Persatuan Indonesia. Oleh karena itu Indonesia harus bisa bersatu secara demokrasi merumuskan perekonomian suatu bangsa dengan cara kekeluargaan agar seluruh aspek rakyat Indonesia bisa terjamah seluruhnya tanpa membedakan si kaya dan si miskin.
Kesejahteraan. Itulah kata yang akan selalu kita ingat bila kita berbicara Koperasi di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Kata – kata itu akan selalu muncul bahwa cita cita gerakan ekonomi adalah untukkesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa pada umumnya. Maka dengan kesehteraan ini bangsa Indonesia bisa dengan bangga dan bisa memberikan apa yang di butuhkan suatu Negara kepada rakyatnya.
Ekonomi Kerakayatan. Dua kata ini adalah suatu konsep ekonomi untuk Indonesia yang di cetuskan oleh Bung Hatta sebagai suatu ranah gerakan Ekonomi Indonesia untuk kepentingan Rakyat. Ekonomi Kerakayatn ini suatu lambang Demokrasi Ekonomi untuk Indonesia dimana Ekonomi di atur secara Demokrasi oleh rakyat secara bersama dengan berasaskan kekeluaragaan yang ini di sebut dengan Koperasi.
Pasal 33 ayat 1 berbunyi : perkonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Maksud dari pasal ini adalah Koperasi yang menjadi suatu ranah Ekonomi Indonesia yang sesuai dengan kepribadian suatu bangsa Indonesia. Dengan koperasi inilah Indonesia bisa melaksanakan sistem Ekonomi Nasional untuk mewujudkan kesejahteraan Nasional.
Pasal 33 ayat 2 berbunyi “ Cabang – cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasi hajat hidup orang banyak di kuasi oleh Negara”. Teryata dalam bunyi pasal ini tidak secara tegas di laksankan oleh bangsa Indonesia,cabang –cabang ekonomi yang penting teryata masih leluasa di kuasi oleh para kapital yang membentuk PT yang seharusnya di kuasi Negara malahan di kelola secara Individulaisme seperti PT Pertamina, PT Kereta Api Persero dan lain sebagainya.
Pasal 33 ayat 3 berbunyi “ bumi air dan kekeayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasi oleh Negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Melihat dalam kenyataanya perusahaan hasil bumi yang seharusnya untuk keperluan hajat hidup orang banyak belum di kuasi sepenuhnya oleh Negara, tetapi masih tetap berjalan di kelola oleh rakyat Indonesia dengan tidak secara kolektif. Inikah Indonesia yang tidak menaati suatu Dasar Negaranya sendiri.
Pasal 33 ayat 4 berbunyi “ perekonomian nasional di selenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan manjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Sudah jelas sekali ekonomi Indonesia adalah Koperasi. Wujud dari Pasal 33 ini adalah di tujukan intuk Koperasi agar menjadi suatu gerakan Ekonomi Nasional agar bisa mensejahterakan rakyat dan menuju Ekonomi Nasional yang maju, tetapi kenyataanya Indonesia belum bisa melaksakan semua itu semua. Inilah suatu bentuk kejelekan Indonesia yang mengakibatkan Indonesia belum bisa menjadi Negara yang maju.
Koperasi di Indonesia yang di bumingkan dan di rumuskan dalam suatu UUD dasar ternyata belum bisa di pahami sepenuhnya oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu segeralan kita wujudkan Indonesia ini agar bisa sesuai dengan visi suatu Negara agar Indonesia bisa mewujudkan cita –citanya untuk kesehateraan rakyat Indonesia dan untuk kemakmuran Nasional. Mari kita galakakan dan wujudkan Indonesia dengan sistem Koperasi.
Peluncuran Buku Prof. Sri-Edi Swasono: Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial
Prihatin tentang makin tersisihnya kesejahteraan sosial karena sistem ekonomi neoliberalisme dibiarkan berkecamuk di Indonesia, Prof. Sri-Edi Swasono menulis buku “Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal Sampai ke the End of Laissez Faire” yang resmi diluncurkan pada Jumat, 26 Maret 2010, pukul 13.00 WIB – selesai, di SG 1 – 5 Bappenas, Jakarta.
Menurut Prof. Sri-Edi, hal ini dapat disaksikan antara lain (1) Pembangunan terbukti telah menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan; (2) Daulat pasar telah menggusur daulat rakyat; (3) Terjadi sekedar pembangunan di Indonesia dan bukan pembangunan Indonesia, sehingga kita menjadi jongos globalisasi; (4) Padahal seharusnya we have to be the master in our own home land, not just to became the host. Maka tidak bisa tidak, jika kesejahteraan sosial harus maju, kita harus menolak neoliberalisme dan kembali ke ekonomi konstitusi. Buku ini membahas tentang masalah kesejahteraan sosial Indonesia yang merupakan bagian integral dari keseluruhan kegiatan ekonomi, bukan sekedar digarap melalui advokasi jaminan sosial, betapapun berbagai bentuk jaminan sosial dan undang-undang yang berkaitan dengan berbagai pemikiran tentang jaminan sosial sangatlah penting yang merupakan tanggung jawab negara.
Bapak Sri-Edi Swasono mengutip pemikiran Dr. Mohammad Hatta yang menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial Indonesia berdasar pada paham ‘demokrasi ekonomi’ Indonesia yang berdasar pada ‘hak sosial rakyat’. Belum terpenuhinya hak sosial warga negara ini dikarenakan terjadinya pergeseran paham dari negara kesejahteraan ke paham liberal, dimana negara lebih mengutamakan pentingnya peran pasar. Melalui buku ini beliau ingin menggugah komitmen bangsa ini untuk berjuang mewujudkan kesejahteraan sosial Indonesia seperti tertuang dalam Pasal 33 dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Prof. Sri-Edi mengajak semua untuk merenungkan dari buku beliau, barangkali Hatta (negarawan), Baran (ideologi), Myrdal dan Galbraith (reformis), Arrow (ekonometrikus), Sen (ekonom), dan Etzioni (sosiolog) yang dengan jeli mampu melihat bahwa preferensi sosial itu ada secara independen, di mana individu-individu hidup di dalam suatu masyarakat merupakan suatu kenyataan yang given. Di sinilah beliau ingin ikut menegaskan bahwa privacy is a societal license. Bahwa individual privacy pada hakikatnya adalah suatu mandated privacy, bukan hak individual secara mutlak.
Pada sambutan dalam acara peluncuran buku tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas Prof. Armida S. Alisjahbana, MA mengatakan bahwa pemikiran Bapak Sri-Edi Swasono tentunya sejalan dengan apa yang telah Pemerintah upayakan, dan telah pula dituangkan dalam visi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu terciptanya masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas, serta berkeadilan. Dokumen RPJPN 2005-2025 ini kemudian dituangkan ke dalam dokumen pembangunan lima tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada RPJMN Tahap I 2004-2009, pembangunan ekonomi diarahkan pada tiga strategi, yakni pro-growth, pro-jobs, dan pro-poor. Melalui strategi pro-growth terjadi percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan perbaikan distribusi pendapatan serta ditandai dengan makin banyaknya kesempatan kerja yang tercipta sehingga semakin banyak pula rakyat Indonesia yang bisa melepaskan diri dari jerat kemiskinan, sehingga pada akhirnya, hal ini dapat memperkuat perekonomian bangsa dalam menghadapi berbagai goncangan.
Prof. Armida menambahkan, tantangan dalam mencapai kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia tentu memerlukan sumbangan pemikiran. Dalam kerangka sumbangsih pemikiran inilah, buku “Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal Sampai ke the End of Laissez Faire” yang disusun oleh Bapak Profesor Sri-Edi Swasono dapat dijadikan salah satu bahan referensi.
Menurut Prof. Sri-Edi, hal ini dapat disaksikan antara lain (1) Pembangunan terbukti telah menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan; (2) Daulat pasar telah menggusur daulat rakyat; (3) Terjadi sekedar pembangunan di Indonesia dan bukan pembangunan Indonesia, sehingga kita menjadi jongos globalisasi; (4) Padahal seharusnya we have to be the master in our own home land, not just to became the host. Maka tidak bisa tidak, jika kesejahteraan sosial harus maju, kita harus menolak neoliberalisme dan kembali ke ekonomi konstitusi. Buku ini membahas tentang masalah kesejahteraan sosial Indonesia yang merupakan bagian integral dari keseluruhan kegiatan ekonomi, bukan sekedar digarap melalui advokasi jaminan sosial, betapapun berbagai bentuk jaminan sosial dan undang-undang yang berkaitan dengan berbagai pemikiran tentang jaminan sosial sangatlah penting yang merupakan tanggung jawab negara.
Bapak Sri-Edi Swasono mengutip pemikiran Dr. Mohammad Hatta yang menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial Indonesia berdasar pada paham ‘demokrasi ekonomi’ Indonesia yang berdasar pada ‘hak sosial rakyat’. Belum terpenuhinya hak sosial warga negara ini dikarenakan terjadinya pergeseran paham dari negara kesejahteraan ke paham liberal, dimana negara lebih mengutamakan pentingnya peran pasar. Melalui buku ini beliau ingin menggugah komitmen bangsa ini untuk berjuang mewujudkan kesejahteraan sosial Indonesia seperti tertuang dalam Pasal 33 dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Prof. Sri-Edi mengajak semua untuk merenungkan dari buku beliau, barangkali Hatta (negarawan), Baran (ideologi), Myrdal dan Galbraith (reformis), Arrow (ekonometrikus), Sen (ekonom), dan Etzioni (sosiolog) yang dengan jeli mampu melihat bahwa preferensi sosial itu ada secara independen, di mana individu-individu hidup di dalam suatu masyarakat merupakan suatu kenyataan yang given. Di sinilah beliau ingin ikut menegaskan bahwa privacy is a societal license. Bahwa individual privacy pada hakikatnya adalah suatu mandated privacy, bukan hak individual secara mutlak.
Pada sambutan dalam acara peluncuran buku tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas Prof. Armida S. Alisjahbana, MA mengatakan bahwa pemikiran Bapak Sri-Edi Swasono tentunya sejalan dengan apa yang telah Pemerintah upayakan, dan telah pula dituangkan dalam visi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu terciptanya masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas, serta berkeadilan. Dokumen RPJPN 2005-2025 ini kemudian dituangkan ke dalam dokumen pembangunan lima tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada RPJMN Tahap I 2004-2009, pembangunan ekonomi diarahkan pada tiga strategi, yakni pro-growth, pro-jobs, dan pro-poor. Melalui strategi pro-growth terjadi percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan perbaikan distribusi pendapatan serta ditandai dengan makin banyaknya kesempatan kerja yang tercipta sehingga semakin banyak pula rakyat Indonesia yang bisa melepaskan diri dari jerat kemiskinan, sehingga pada akhirnya, hal ini dapat memperkuat perekonomian bangsa dalam menghadapi berbagai goncangan.
Prof. Armida menambahkan, tantangan dalam mencapai kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia tentu memerlukan sumbangan pemikiran. Dalam kerangka sumbangsih pemikiran inilah, buku “Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan Neoklasikal Sampai ke the End of Laissez Faire” yang disusun oleh Bapak Profesor Sri-Edi Swasono dapat dijadikan salah satu bahan referensi.
Langganan:
Postingan (Atom)